-->
Powered by Blogger.

Potensi Akal, Penentu Benar dan Salah

         Melakukan kesalahan dalam hidup bukan saja lebih terhormat, tetapi lebih bermanfaat dari pada tidak melakukan apa-apa sama sekali (George Bernard Shaw). Begitulah kira-kira sepenggal kalimat yang terdapat dalam buku kata-kata motivasi dosis tinggi karangan William Tanuwidjaja.
 
      Syaikh Taqiyuddin an-nabhani dalam bukunya Nidzomul Ijtima’i (peraturan hidup antara laki-laki dengan perempuan) menjelaskan  tiga potensi yang dimiliki manusia pada umumnya yang diberikan sang pencipta (al-khalik) menandakan kita sebagai salah satu makhluk hidup di dunia ini. Ialah yang pertama ada yang disebut dengan akal. Akal sebagaimana yang kita ketahui bersama bersifat pembeda. Pembeda manusia dari makhluk-makhluk hidup yang lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Ciri pembeda yang Allah persembahkan kepada manusia yang harusnya kita pergunakan semaksimal mungkin guna menegaskan identitas kita sebagai makhluk yang sempurna.

          Yang kedua adalah hajat al-udwiyyah yaitu kebutuhan jasmani. Sama halnya dengan tumbuhan dan hewan, manusia diberi potensi akan kebutuhan jasmaninya. Menandakan manusia sebagai makhluk hidup yang butuh akan makan dan minum. Ketika kebutuhan jasmani ini tidak terpenuhi maka manusia seperti halnya makhluk hidup yang lain akan kelaparan, akan kehausan hingga akhirnya mati karena ketiadaan asupan makanan dan minuman. Hal yang urgen (penting) bagi makhluk hidup yang diciptakan sang khalik dalam mengisi kekosongan di buminya ini.
 
      Ketiga, yaitu naluri atau dalam bahasa arabnya adalah al-gharizah. Didalam pembahasan bukunya, Syaik Taqiyuddin membagi gharizah itu ke dalam tiga bagian. Yang pertama disebutkan adalah ghorizah al-tadayyun. Gharizah ini berkaitan langsung dengan ciri manusia sebagai makhluk pemuja (menuhankan sesuatu), baik itu secara terang-terangan dalam artian bersama-sama memuja ataupun secara tertutup (hanya dirinya yang tahu). Bisa kita buktikan secara sederhana bagaimana manusia memiliki potensi naluri menuhankan sesuatu. Seperti contoh seorang atheis atau yang mengaku tidak beragama ketika dia dihadapkan dalam situasi atau kondisi dimana ia terjepit. Dalam sebuah kapal layar berawak puluhan yang hendak berlayar menyebrangi suatu pulau, dia (orang atheis) adalah seorang nakhoda kapal tersebut. Tiba-tiba di tengah perjalannya saat itu terjadi badai dahsyat, kapal yang dia tumpangi mendapatkan cobaan yang luar biasa. Ternyata ombak besar menghantam kapalnya dan terombang-ambinglah seluruh isi kapal tersebut. Lalu apa yang dia (orang atheis) katakan, dia berkata “oh my god”. Singkat tapi bermakna tegas, menandakan seorang yang mengaku tidak beragama pun ketika dihadapkan dalam situasi terjepit dia akan merasa bahwa dia butuh pertolongan yang lebih kuat selain dari pertolongan manusia yang lain.

         Setelah pembahasan mengenai gharizah yang pertama yaitu gharizah al-tadayyun, naluri yang juga membedakan antara manusia dengan hewan dan tumbuhan selain daripada akal tentunya. Gharizah al-nau (naluri biologis) dan gharizah al-baqo (naluri membela diri) mungkin bisa dikatakan hampir tidak adanya perbedaan. Karena hewan dan tumbuhanpun diberi potensi berupa dua naluri yang sama dengan manusia yaitu naluri biologis dan naluri membela diri, kecuali naluri menuhankan sesuatu yang di khususkan hanya kepada manusia saja.
 
       Manusia itu memiliki apa yang tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan. Yaitu akal beserta gharizah al-tadayyun (menuhankan sesuatu). Kedua potensi yang khusus tersebut jelas akan selalu beriringan, akan selalu berkaitan, selau mengisi satu sama lain, karena para ulama sepakat bahwa hukum asal ibadah itu adalah haram. Mengapa haram? Karena jika kita menuhankan lalu kita beribadah dan yang kita sembah itu sesuatu yang salah, maka dalam pandangan islam itu merupakan perbuatan musyrik (menduakan sang pencipta). Oleh karena itu fungsi akal ialah menentukan mana yang layak untuk disembah sesuai keinginan dari naluri yang muncul di dalam diri kita. Sinergisitas kedua hal tersebut sangat menentukan apakah manusia menggunakan potensi yang diberikan oleh sang penciptanya dengan baik ataukah tidak. 

     Merujuk pada beberapa poin dalam pembahasan diatas, bahwa ketika manusia tidak mempergunakan akalnya dengan benar untuk menuhankan sesuatu kemudian beribadah maka konsekuensinya adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-qur’an surat Yunus: 100 “dan Allah akan menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”. Jadi jelas, ketika manusia beriman atau meyakini sesuatu yang melebihinya dari segi apapun juga disanalah fungsi akal yang sesungguhnya. Bahwa ketika kita beriman (menuhankan sesuatu), kita harus mempergunakan akal kita sebelum meyakininya. Karena akan sangat beresiko tinggi apabila kita belum mampu mempergunakan akal untuk mengetahui keebenaran Allah SWT.
 
         Potensi Akal sangatlah khas bagi setiap individu, karena penentu benar atau salah, baik atau buruknya perbuatan kita sangatlah bergantung pada seberapa jauh kita menggunakan akal kita. Kita seringkali beranggapan bahwa apa yang kita lakukan, apa yang kita perbuat saat ini sudah sesuai dengan nilai baik dan buruk. Tapi Allah sendirilah yang telah menegaskan dalam firmannya bahwa “boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula kamu menyukai sesuatu padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah: 216).

           Darisanalah kita bisa ambil kesimpulan bahwa fungsi akal yang sesungguhnya adalah penentu baik dan buruk. Akan tetapi baik buruknya suatu perbuatan haruslah berdasarkan pada aturan Allah SWT (syariat islam). Karena aturan dari sang penciptalah yang akan meluruskan apakah perbuatan kita baik di mata Allah, buruk di mata Allah ataukah tidak. Itu semua disinergikan atau diselaraskan dengan syariat islam (penentu benar atau salah) setiap perbuatan yang sudah, sedang dan akan kita lakukan. Maka Allah SWT sendiri yang akan menilai setiap perbuatan yang kita kerjakan. Setiap apa yang kita lakukan, baik buruknya diukur dari seberapa cocokkah perbuatan kita selama ini dengan aturan yang Allah turunkan didalam isi Al-qur’aanul kariim dan dari pribadi Rasulnya Muhammad SAW. Sehingga cita-cita terbesar kita selama ini yang sangat diinginkan oleh setiap manusia yang yakin yaitu masuk syurga-Nya mampu terealisasikan di akhirat nanti. Wallahualam,

Post by : Fikri AL-Aziz

0 comments:

Post a Comment