Capai Kemakmuran, Optimalkan Sumber Daya Minyak dan Gas
Oleh: Muhamad Faisal Al'ansori
BANDUNG, Jurnalc: Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah, baik kekayaan yang dapat dilihat secara kasat mata / yang berada di atas tanah negeri tercinta ini, maupun yang terkandung di dalam perut bumi. Minyak dan gas merupakan contoh dari beberapa kekayaan alam yang berpotensi menghasilkan pundi – pundi uang yang tak terkira.
Tetapi harapan untuk mencapai kemakmuran melalui pengelolaan SDA sepertinya bertepuk sebelah tangan. . Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Di perusahaan patungan itu porsi asing pun cukup besar[1].
Menurut data dari Kementerian ESDM (http://www.migas.esdm.go.id) mengungkap lebih rinci penguasaan ladang minyak dan gas di Indonesia oleh pihak asing tersebut. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam kategori supermayor, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina EIf, BP, Amoco, Arco, dan Chevron Texaco. Lima perusahaan ini menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen.
Selebihnya masuk kategori mayor, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex. Perusahaan ini menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Sementara perusahaan independen hanya menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen.
Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia mencapai 1.655 milyar dolar AS atau 14,3 ribu trilyun / tahun. Wow, jumlah yang sangat fantastis. Ini jauh lebih besar dibandingkan total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 yang mencapai Rp 1.697,44 trilyun.
Tidak hanya di hulu, perusahaan migas asing ini pun mulai merambah ke sektor hilir. Beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan Petronas telah menancapkan kukunya dengan membangun SPBU di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Bahkan pemerintah memberikan kesempatan kepada masing-masing perusahaan untuk membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Nasional Indonesia.
Jika terus menerus dikuasai pihak swasta / asing, selama itu pula Indonesia masih ‘dijajah’ oleh negara asing daalam sektor pengelolaan sumber daya alam (Migas). Sebenarnya Pemerintah dapat ‘merebut’ kembali perusahaan – perusahaan Migas yang akan habis masa kontraknya. Berikut adalah daftar perusahaan – perusahaan asing yang akan habis masa kontraknya saat ini Indonesia memiliki kesempatan untuk mengambil alih kedaulatan energinya.
Dalam rentang waktu 10 tahun ke depan, ada beberapa perusahaan asing yang habis masa kontraknya. Mereka antara lain[2] :
Blok Mahakam (Total, 2017
Blok South Sumatra, SES (CNOOC, 2018),
South Natuna Sea Block B (Conoco-Phillips, 2018),
East Kalimantan (Chevron, 2017),
Sanga Sanga Block (Virginia, 2018),
Blok Lho Sukon (Exxon, 2017),
Corridor, Bertak, Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016),
Onshore Salawati Basin (PetroChina, 2016),
Siak (Chevron, 2013)
Ogan Komering (PetroChina, 2018),
Blok B Arun (Exxon, 2017). Menurut
ketentuan, blok produksi yang selesai kontrak dikembalikan kepada negara dengan
seluruh asetnya sudah menjadi milik / hak negara, baik berupa sisa cadangan
Migas yang ada di perut bumi maupun insfratruktur produksi. Memperpanjang kontrak
blok produksi yang sudah selesai kontrak sama artinya dengan memberikan secara
gratis harta milik negara kepada kontraktor. Itu pasti melanggar konstitusi
(pasal 33).
Hal inilah yang menjadi celah dan dapat memunculkan terjadinya praktek terselubung / kongkalikong antara BP Migas dengan para kontraktor (pihak asing) dalam mengelola Migas.
Jadi Pemerintah harus bersikap berani terhadap perusahaan – perusahaan asing yang menguasai berbagai pertambangan Migas. Jika pertambangan Migas dikelola dengan benar dan baik serta berada di tangan orang – orang yang mempunyai kapabilitas serta kredibilitas, mimpi Indonesia menjadi negara yang makmur nampaknya akan menjadi kenyataan. Insya Allah. (-MFA-)
BANDUNG, Jurnalc: Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah, baik kekayaan yang dapat dilihat secara kasat mata / yang berada di atas tanah negeri tercinta ini, maupun yang terkandung di dalam perut bumi. Minyak dan gas merupakan contoh dari beberapa kekayaan alam yang berpotensi menghasilkan pundi – pundi uang yang tak terkira.
Tetapi harapan untuk mencapai kemakmuran melalui pengelolaan SDA sepertinya bertepuk sebelah tangan. . Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Di perusahaan patungan itu porsi asing pun cukup besar[1].
Menurut data dari Kementerian ESDM (http://www.migas.esdm.go.id) mengungkap lebih rinci penguasaan ladang minyak dan gas di Indonesia oleh pihak asing tersebut. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam kategori supermayor, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina EIf, BP, Amoco, Arco, dan Chevron Texaco. Lima perusahaan ini menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen.
Selebihnya masuk kategori mayor, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex. Perusahaan ini menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Sementara perusahaan independen hanya menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen.
Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia mencapai 1.655 milyar dolar AS atau 14,3 ribu trilyun / tahun. Wow, jumlah yang sangat fantastis. Ini jauh lebih besar dibandingkan total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 yang mencapai Rp 1.697,44 trilyun.
Tidak hanya di hulu, perusahaan migas asing ini pun mulai merambah ke sektor hilir. Beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan Petronas telah menancapkan kukunya dengan membangun SPBU di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Bahkan pemerintah memberikan kesempatan kepada masing-masing perusahaan untuk membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Nasional Indonesia.
Jika terus menerus dikuasai pihak swasta / asing, selama itu pula Indonesia masih ‘dijajah’ oleh negara asing daalam sektor pengelolaan sumber daya alam (Migas). Sebenarnya Pemerintah dapat ‘merebut’ kembali perusahaan – perusahaan Migas yang akan habis masa kontraknya. Berikut adalah daftar perusahaan – perusahaan asing yang akan habis masa kontraknya saat ini Indonesia memiliki kesempatan untuk mengambil alih kedaulatan energinya.
Dalam rentang waktu 10 tahun ke depan, ada beberapa perusahaan asing yang habis masa kontraknya. Mereka antara lain[2] :
Blok Mahakam (Total, 2017
Blok South Sumatra, SES (CNOOC, 2018),
South Natuna Sea Block B (Conoco-Phillips, 2018),
East Kalimantan (Chevron, 2017),
Sanga Sanga Block (Virginia, 2018),
Blok Lho Sukon (Exxon, 2017),
Corridor, Bertak, Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016),
Onshore Salawati Basin (PetroChina, 2016),
Siak (Chevron, 2013)
Ogan Komering (PetroChina, 2018),
Blok B Arun (Exxon, 2017).
Hal inilah yang menjadi celah dan dapat memunculkan terjadinya praktek terselubung / kongkalikong antara BP Migas dengan para kontraktor (pihak asing) dalam mengelola Migas.
Jadi Pemerintah harus bersikap berani terhadap perusahaan – perusahaan asing yang menguasai berbagai pertambangan Migas. Jika pertambangan Migas dikelola dengan benar dan baik serta berada di tangan orang – orang yang mempunyai kapabilitas serta kredibilitas, mimpi Indonesia menjadi negara yang makmur nampaknya akan menjadi kenyataan. Insya Allah. (-MFA-)
0 comments:
Post a Comment