Novi Adriyanti
Ciiuuuussss
??? Miaapaaaahhhhhhhhhhhh ?????
Tak muda, tak tua, semua
keranjingan bahasa alay.
Tak lagi mengenal batasan
usia. Ciyusan? Miapah?
Ciyus?
Miapah? Macacih?” Kata-kata itu kini kerap terdengar di mana-mana. Enggak di
kantor, di kantin, di kampus, juga di sekolah-sekolah. Pemakai kata-kata alay
itu juga sudah tak lagi mengenal usia. Ada bapak-bapak yang sudah kumisan, atau
ibu-ibu arisan. Ada juga bocah SD. Bahasa alay memang sudah menguasai dunia.
Heni misalnya. Ibu beranak satu itu awalnya benci saat
keponakan-keponakannya yang masih SMA saling bersahutan menggunakan
bahasa-bahasa ‘aneh’ di BBM Group. “Saya tuh sampai gedek-gedek sendiri, kok
bisa ya mereka mengerti dan saling paham bahasa kayak gitu?” katanya sambil
mengernyit. Dia pun sempat protes karena merasa terganggu.
Namun lama-lama, Heni merasa kata-kata itu lucu juga. Apalagi kini
kata-katanya makin beragam. Dia mulai ikut-ikutan menggunakan kata-kata seperti
enelan (benaran) dan macacih (masa sih).
Angka, Singkatan, Hingga Cadel
Bahasa alay pertama kali beredar lewat short message service alias
SMS. Awalnya, banyak remaja, pelajar SMP dan SMA sering menyingkat katakata dan
menggantinya dengan angka. Tadinya hal itu untuk menghemat jumlah SMS agar
lebih murah. “Kalau enggak disingkat bisa dua atau tiga SMS, kalau disingkat
kan jadi satu SMS saja, lebih murah,” kata Devi, salah satu ‘alayer’.
Devi
merasa tidak ada masalah dengan penggunaan singkatan dan angka itu.
Teman-temannya juga paham apa yang ditulisnya. Bahkan, semua temannya juga
menulis SMS seperti Devi.
Namun
ternyata tidak semua orang mengerti pesan dengan singkatan tak lazim dan
angka-angka seperti itu. Sejumlah orang merasa muak jika mendapat SMS semacam
itu.
“Ini
tulisan apa sih kok ada huruf besar kecil, angka? Duh, saya pusing membacanya.
Saya sampai minta orang itu mengirim ulang dengan bahasa yang biasa,” kata
Nita, salah satu karyawan swasta.
Lalu
kini muncul lagi bahasa alay yang baru dan populer. Kali ini, si pemakai
seolah-olah cadel seperti anak kecil. Konon, kata-kata ini pertama kali dipopulerkan
di Twitter.
Pengamat
media sosial, Nukman Luthfie mengatakan, kata-kata seperti miapah dan ciyus
berawal dari sejumlah orang yang mengobrol di Twitter dengan gaya pura-pura
cadel.
‘Miapah’
pertama kali digunakan oleh akun Twitter @popokman. Mungkin karena lucu,
kata-kata itu kemudian ditirukan oleh followers-nya.
“Jadi
faktor lucu itu biasanya yang membuat sesuatu di Twitter kemudian populer. Tapi
enggak ada rumusnya sih yang bisa ngetop di Twitter itu yang bagaimana,” kata
Nukman. Sebenarnya, sebelum miapah dan teman-temannya, sudah banyak juga yang
mencoba membuat tren. Namun ada yang gagal, ada juga yang berhasil.
Dia
menyebut, tren semacam ini juga tidak bisa diprediksi berapa lama akan
bertahan. Hal itu tergantung bagaimana perkembangan tren di dunia maya itu
sendiri.
“Jadi
Twitter itu memang memberi ruang untuk berekspresi
dan tren katakatanya selalu berkembang serta berubah-ubah,” kata Nukman.
Bahasa Gaul
Gaya bahasa semacam ini sebenarnya sudah muncul sejak zaman dahulu
kala. Istilahnya bahasa prokem atau gaul. Tiap zaman, bentuk gaulnya memang
berbedabeda.
Pada zaman “Catatan Si Boy”, istilah yang paling populer adalah si
‘doi’ untuk menunjuk pacar. Atau bahasa gaul yang diciptakan oleh Debby
Sahertian. Peneliti Balai Bahasa, Dendy Sugono menyebut,
bahasa seperti miapah dan ciyus itu termasuk dalam kategori bahasa
slang. Bahasa ini memang biasanya menyimpang dari kaidah atau norma umum. Sebenarnya
tidak ada yang salah dari bahasa-bahasa itu, selama penggunaannya hanya untuk
komunikasi
informal atau bahasa sehari-hari. “Itu tidak mengganggu selama
tidak digunakan untuk diskusi di kelas atau diskusi ilmiah,” katanya.
Menurut Dendy, bahasa slang sebenarnya merupakan salah satu bentuk
kreativitas anak muda. Sebaiknya, hal semacam ini tidak dilarang-larang.
Bahasa slang biasanya juga tidak bertahan lama. Dia menganalogikan
bahasa slang sebenarnya mirip dengan mode yang akan terus berganti dan
berulang. “Jadi itu persis kayak mode. Muncul, hilang, ganti baru, lalu suatu
saat akan muncul lagi. Jadi begitu terus, seperti roda saja,” kata pria yang
pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa ini.
Sumber: Majalah Detik
0 comments:
Post a Comment